Kamis, 05 Juni 2008

Berjuang Mengatasi Tekanan dan Tantangan

Dalam situasi yang serba sulit seperti saat ini, ada banyak hal yang bisa membuat kita merasa jengkel, stress/tertekan, jenuh, dan bahkan sakit hati. Tapi kalo dipikir-pikir untuk apalah kita menyesali keadaan buruk seperti itu. Biarpun beribu-ribu kali kita curhat sana-sini melepaskan seluruh kekesalan kita apakah kemudian keadaan menjadi lebih baik…??? Ternyata lebih sering tidak (ini juga sering saya alami lho…). Segala permasalahan yang ada tidak pernah akan selesai jika ditanggapi secara negatif dalam bentuk omongan-omongan yang tak berguna seperti yang sering diperagakan para politisi di negara ini. Semua itu haruslah diselesaikan dengan tindakan nyata.

Sebagai contoh bila anda misalnya seorang profesional yang dituntut menyelesaikan suatu tugas berat yang biasanya dikerjakan sebulan tapi anda dideadline untuk mengerjakannya dalam waktu kurang dari seminggu. Meskipun hal itu dirasa sangat sulit, tapi apakah kita kemudian menghabiskan waktu yang ada hanya dengan menggerutu saja. Tentu saja tidak, karena pekerjaan sesulit apapun asalkan kita selalu konsisten, sungguh-sungguh, dan optimis dalam mengerjakannya maka yakinlah itu semua bisa terselesaikan.

Dalam kondisi sesulit apapun, biasakanlah untuk selalu berpikir positif karena itu akan memacu kita untuk menemukan solusi dan gagasan-gagasan baru. Setidaknya hal ini pernah dialami oleh teman kuliah saya, Darwan yang lulus bareng saya tahun 2007 lalu. Kisah perjuangannya semasa kuliah dahulu cukup banyak menginspirasikan saya. Semasa kuliah dia dikenal paling jago ngutak-ngatik program-program komputer (tidak heran jika komputernya sering rusak). Segala macam program terutama yang berbau grafis seperti Photoshop, Coreldraw, Flash, Arc GIS, AutoCAD, Movie maker, 3D max, dsb bisa ia kuasai secara otodidak dengan mudah.

Saat pertama kali datang ke Kota Malang waktu mulai kuliah tahun 2002, ia benar-benar tidak paham dengan benda ajaib yang bernama Komputer itu. Maklum saat itu ia baru datang dari suatu daerah terpencil di Maluku. Ia baru mengenal komputer saat kakaknya yang sebelumnya sudah lama kuliah di Malang membuka usaha rental komputer di rumah kontrakan mereka. Ketika baru mengenal komputer ia benar-benar merasa bingung campur takut. Bingung karena tidak tahu fungsi tombol-tombol yang ada dan takut karena ia mengira komputer ini termasuk barang yang mudah meledak. Saat disuruh menyalakan komputer oleh sang kakak, ia melakukannya dengan hati-hati sekali (persis seperti orang yang lagi menjinakkan bom).

Lama-kelamaan ketika mulai terbiasa mengoperasikan komputer, ia langsung larut dengan kegemarannya yang baru yaitu memencet-mencet keyboard dan memain-mainkan mouse persis seperti bocah yang dapet mainan baru. Beberapa minggu kemudian ia sudah menguasai beberapa program standar seperti Ms Office, Ms Paint dan sejenisnya. Kakaknya (Mas Udin) termasuk orang yang paling bangga melihat perkembangan adiknya dalam menguasai teknologi yang ngetren di abad 21 itu. Apalagi sebagai entrepeneur, kakaknya ternyata melihat itu sebagai aset penting dalam pengembangan bisnis rental komputer yang sedang dibangunnya. Jadilah Darwan sang Adik itu menjadi sukarelawan yang bertugas menjaga rental tersebut setiap hari selama itu tidak berbenturan dengan jadwal kuliah.

Pekerjaan barunya itu ia kerjakan dengan sungguh-sungguh tanpa mengeluh sedikitpun, meski seringkali dibuat pusing oleh ulah dosennya yang pada awal-awal kuliah senang sekali gonta-ganti jadwal kuliah sehingga sering berbenturan dengan jadwal kerjanya di rental. Ia manfaatkan posisi barunya itu untuk menimba ilmu komputer sebanyak-banyaknya, apalagi kakaknya ternyata menyimpan begitu banyak buku tentang beraneka macam software dan majalah-majalah komputer.

Tapi ternyata ilmu komputer yang ia kuasai masih terbatas pada pengoperasian program-program standar seperti Ms. Office dan Program-program bawaan windows. Ia masih belum memahami konsep terpenting dalam komputer terkait logika berpikir dalam bahasa pemrogaman. Akibatnya nilai mata kuliah komputer yang diperolehnya saat semester satu adalah ”D”. Baginya kejadian itu bukanlah sesuatu yang patut disesalkan. Ia tidak pernah protes atau mengajukan keberatan atas nilai tersebut, karena ia sadar bahwa ia memang masih memiliki kelemahan dasar yang harus dibenahi. Nilai itu justru menjadi tantangan dan bahan introspeksi baginya untuk memperbaiki kelemahan tersebut.

Kisahnya yang paling dramatis terjadi saat proses pengerjaan skripsi hingga pengumpulannya. Skripsinya yang membahas tentang pengembangan faktor-faktor keunggulan sumberdaya manusia di suatu wilayah kota dengan melihat trend perkembangan indeks IPM (Indeks Pembangunan Manusia) telah menjadi bahan perdebatan seru di kalangan dosen. Gara-gara itu ia sampai bolak-balik dipaksa merevisi materi skripsinya, bahkan ia nyaris dinyatakan tidak lulus (maklum skripsinya kelewat kontroversial dan dianggap masih terlalu prematur).

Ia memang pejuang yang tangguh dan pantang menyerah meski ia sempat mengalami stagnasi berkepanjangan gara-gara sifat moody-nya yang sering muncul tiba-tiba (saya dan teman-teman lainnya pun sering mengalami gejala aneh ini). Stagnasi tersebut berdampak serius pada perkembangan skripsinya, karena hingga 2 minggu menjelang pengumpulan laporan hasil, ia masih berkutat di bab tiga (analisa) dan tampaknya ia sudah sangat jenuh. Tidaklah heran jika dosen pembimbingnya dibuat gerah dan oleh sang dosen ia diharuskan melakukan asistensi lebih intensif. Akhirnya setelah berjuang keras, ia berhasil menyelesaikannya tepat waktu (tekanan sang dosen agaknya membuat ia menjadi lebih produktif). Tepat pada hari terakhir deadline pengumpulan laporan hasil, tiba-tiba listrik padam padahal saat itu ia baru mulai ngeprint (saat itu sudah jam setengah 12 siang, sementara batas pengumpulan adalah jam 2 siang).

Beruntung saya saat itu datang ke tempatnya, karena kasihan saya menawarkan dia membawa komputernya untuk ngeprint di tempat saya. Bayangkan saja laporannya tergolong tebal sekitar 300 halaman dan harus dirangkap tiga. Saat mulai ngeprint ditempat saya, celakanya ia baru teringat kalau ia melupakan sesuatu yang amat penting. Ia lupa membuat abstraksi, kata pengantar, daftar isi, dan parahnya lagi ia belum dapat tanda tangan acc dari dosen pembimbing….!!! Akhirnya waktu yang tersisa selain habis untuk ngeprint, juga ia kebut untuk mengerjakan hal tersebut (maklum kalo itu tak dilengkapi, staf jurusan yang berwenang menerima pengumpulan laporan yaitu Mbak Puji langsung menolak mentah-mentah). Sekitar jam 2 lewat 10 menit kami baru berangkat ke kampus dengan sedikit lesu maklum waktunya dah telat banget (ini gara-gara Darwan yang masih saja membolak-balik laporannya karena kuatir ada halaman yang kurang) dan yang parah masih belum dapat acc. Sesampainya di kampus (saat itu jam 14.20) hal yang tak terduga terjadi, Mbak Puji staf jurusan yang galak itu bersedia menerima laporan Darwan dengan syarat harus mendapatkan tanda tangan acc dari dosen pembimbing sebelum jam 3 sore (yang ini sepertinya jauh lebih sulit, dan Mbak puji sepertinya tahu hal itu mustahil dilakukan dalam waktu singkat).

Kami berdua mencoba bersikap tenang sambil berpikir keras mencari solusi terbaik. Akhirnya dia memutuskan tetap nekat mencari Dosen Pembimbing tersebut. Kebetulan sekali beliau masih di kampus. Ternyata beliau menolak dengan alasan ia belum membaca keseluruhan laporan itu. Negosiasi yang alot pun terjadi dan itu memakan waktu hampir setengah jam. Akhirnya sang dosen tersebut menelpon salah seorang dosen senior yang terkenal akan derajat keilmuannya yang tinggi dan luas untuk mendiskusikan permasalahan tersebut. Akhirnya setelah diskusi hampir sepuluh menit, laporan tersebut akhirnya di acc tapi dengan catatan ia harus siap dengan resiko “pembantaian” besar-besaran oleh para dosen penguji saat seminar hasil nanti.

Ternyata itu memang terjadi, saat seminar hasil ia benar-benar dibuat tak berkutik dan buruknya lagi seminarnya dinyatakan gagal dan ia tidak layak lanjut ke sidang komprehensif. Ia diharuskan merevisi total laporannya dan mengulang lagi seminarnya minggu depan. Kejadian itu membuatnya frustasi tapi ia benar-benar pantang menyerah, akhirnya ia bisa mengikuti seminar hasil lagi setelah memperbaiki laporannya. Setelah melalui masa kritis saat seminar hasil kedua itu, ia berhasil dan dinyatakan layak melanjutkan ke sidang komprehensif dengan catatan ia harus mengganti beberapa metode analisanya sebelum maju sidang.

Beberapa hari setelah itu, ia sibuk mencari-cari metode pengganti yang pas untuk skripsinya. Ia bertanya pada beberapa dosen yang ia anggap ahli tentang hal itu, sampai akhirnya ia menemukan dosen yang sanggup memberi solusi tepat untuk skripsinya. Tapi dosen itu memberi syarat yang amat berat baginya, ia harus bersedia memperpanjang skripsinya satu semester lagi (padahal ia sebelumnya sudah diultimatum oleh ortunya agar cepat lulus). Jelas ia menolak mentah-mentah dan memutuskan mengerjakan skripsi tersebut dengan caranya sendiri meski beresiko tidak lulus. Agaknya dosen tersebut juga tersentuh hatinya melihat tekad baja Darwan teman saya itu. Ia akhirnya membagikan beberapa metode analisa yang dibutuhkan untuk menyempurnakan hasil penelitian skripsinya.

Ternyata metode yang ditawarkan itu tidak terlalu rumit, hanya saja hal itu menuntut input data yang amat banyak, padahal batas pengumpulan laporan komprehensif semakin dekat. Akhirnya Ia nekat berimprovisasi untuk mengakali keterbatasan data yang dimiliki sehingga dengan cara yang luar-biasa ia berhasil menyelesaikan revisi laporan tersebut dalam hitungan minggu (tekanan hidup terkadang membuat orang tambah kreatif).

Saat waktu pengumpulan laporan untuk sidang kompre makin dekat, celakanya ia belum dapat Acc. dari dosen penguji (padahal itu syarat penting agar laporan bisa diterima). Waktu itu sang penguji lagi sibuk ngurusin proyek di wilayah nusa tenggara. Dosen pembimbing pun ikut panik dan lagi-lagi untuk kali kedua ia menelpon sang penguji untuk menanyakan apakah skripsi Anak ini bisa di Acc untuk lanjut ke sidang komprehensif. Setelah terjadi pembicaraan yang alot terkait materi laporan yang sudah direvisi, akhirnya sang penguji bisa memberi Acc. Uniknya untuk kali pertama sepanjang sejarah jurusan, baru kali ini tanda-tangan Acc sidang dari penguji diwakili oleh dosen pembimbing.

Saat sidang komprehensif, hasilnya ternyata tidak semulus saat pemberian Acc layak mengikuti sidang, karena ternyata sang penguji masih mengaku tidak puas terhadap output penelitiannya. Tidak seperti peserta sidang lainnya yang begitu selesai sidang langsung diumumkan kelulusannya. Pengumuman lulus tidaknya si Darwan ini harus menunggu sampai Yudisium !!! apa sebabnya ??? ternyata ini gara-gara terjadi perdebatan serius di kalangan dosen terkait hasil studinya, dan mau nggak mau untuk kesekian kalinya ia harus berusaha keras merevisi lagi skripsinya (sungguh perjuangan yang melelahkan). Tapi akhirnya toh happy ending juga karena pada saat Yudisium (beberapa minggu setelah Ujian Komprehensif) ia dinyatakan lulus !!!

Darwan sekarang memetik hasil perjuangan kerasnya saat skripsi dahulu. Berbagai tekanan dan tantangan yang dulu sering ia terjang ternyata membentuk mentalnya untuk selalu kompetitif, pantang menyerah dan berusaha mandiri. Sekarang tanpa diduga-duga ia yang dahulu dikenal pendiam, nrimoan, dan hidup amat bersahaja itu telah menjadi entrepeneur muda di daerah asalnya di Masohi Maluku. Ia sekarang merintis beberapa jenis usaha bisnis, mulai dari perdagangan kayu, rental kendaraan, hingga hotel. Ia bahkan berencana membuka usaha kontraktor sendiri.


21 Hariku di Kota Pangkalan Bun

Tak terasa sudah 21 hari aku tinggal di Pangkalan Bun bareng teman-teman anggota tim lain dari Malang. Banyak sudah pengalaman menarik yang kami alami, yang semua itu tentunya telah banyak memberikan hikmah dan pelajaran penting bagi kami. Sejak pertama kali datang ke Kota ini sama sekali tak pernah terpikir oleh kami untuk menghadapi berbagai macam tantangan dan ujian yang datang bertubi-tubi hingga nyaris membuat kami frustasi. Ujian-ujian ini sepertinya merupakan bentuk kasih-sayang Tuhan (Allah) untuk menguji sejauhmana ketakwaan hambanya, dan apakah hambanya bisa berpikir waras dalam menghadapi ujian tersebut dengan selalu berpikir dan berprasangka positif.

Ujian pertama kami yang semuanya baru datang dari Kota nan sejuk Malang, ketika sampai di Kota Pangkalan Bun adalah suhu kota yang begitu panas menyengat. Bahkan di malam hari pun hawanya benar-benar membuat kami terus-menerus berkeringat (mungkin hal inilah yang menjadi penyebab kenapa warga setempat jadi malas berolahraga karena tanpa olahraga sekalipun mereka udah keluar keringat banyak). Bahkan beberapa teman yang membawa sweater dan jaket pun jadi menyesal karena toh barang-barang tersebut hampir nggak pernah digunakan selama ini. Itu sebabnya kami sangat menghindari survey lapangan di siang hari (waktu favorit kami kalo keluar rumah untuk pagi hari sampai jam 10 pagi, sementara sorenya mulai jam 3 sore keatas).

Ujian kedua kami adalah listrik yang sering padam (bahkan nyaris setiap hari selama 4-12 jam!!!). Asal tau aja kedatangan kami kesini untuk ngerjain rencana tata ruang... bukan untuk jalan-jalan, jadi aliran listrik sangat kami butuhkan untuk kelancaran pekerjaan kami karena kami sangat tergantung komputer, printer, dsb. Apalagi kami sering bekerja hingga tengah malam untuk ngejar deadline yang diberikan, beruntung kami masing-masing banyak yang bawa laptop sendiri sehingga sedikit banyak cukup membantu kelancaran kerja kami.

Ujian ketiga kami adalah masalah makanan, maklum tempat tinggal kami agak jauh dari pusat kota meski dekat dengan Kantor Bupati. Lho apa hubungannya....??? ya karena kami semua pada sibuk jadi sangat menggantungkan makanan dari luar, tapi masalahnya di sekitar tempat tinggal kami tidak ada warung yang pas dengan selera kami. Akhirnya kami pada sepakat mesan katering di sekitar basecamp dengan pertimbangan lebih efisien, gampang diatur menunya, dan gak perlu pusing nyari tempat (teorinya sih gitu). Ketika pesanan mulai di antar pada hari pertama, kami merasa puas karena menunya begitu spesial. Tapi setelah beberapa hari (entah apa itu emang kebiasaan pemilik katering) menunya mulai tampak membosankan bahkan nasinya terasa sedikit keras sehingga beberapa dari kami mengajukan keberatan pada pemilik katering (maklum sebagai mantan mahasiswa kami emang suka kritis menyikapi segala sesuatu). Agaknya pemilik katering ini tampak cuek menanggapi keluhan kami, buktinya beberapa hari selanjutnya menu yang diberikan sama seperti sebelumnya hingga beberapa dari kami mulai kehilangan nafsu makan padahal kami udah keluar jutaan rupiah untuk katering tersebut (selama di Malang belum pernah kami menjumpai katering semahal itu). Pantas emang pemilik katering tersebut jual mahal karena di sekitar tempat kami tidak ada pesaingnya, lagipula harga makanan disini emang mahal-mahal. Bayangkan sop buntut seporsi disini mencapai Rp 12.000, rata-rata emang diatas 10.000/porsi.

Ujian keempat kami adalah masalah virus lokal yang menjangkiti komputer kami. Kejadian ini benar-benar membuat kami amat frustasi karena komputer bagi kami adalah aset yang sangat vital dan bernilai khususnya dokumen-dokumen penting dan data kerjaan kami. Virus lokal yang memakai nama "jembatan kahayan" tersebut sangat sukar dibasmi, bahkan meski kami bolak-balik ngupdate beberapa antivirus terbaru dari internet, tapi virus tersebut tak juga angkat kaki dari komputer kami. virus tersebut selain membuat kinerja komputer menjadi sangat lambat dan sering "hang" juga merusak beberapa fungsi-fungsi dari sistem operasi windows kami. Setelah beberapa hari berjuang keras membasmi virus-virus tersebut, akhirnya kami menyerah dan terpaksa memformat partisi C: dan menginstall kembali semua program.

Ujian kelima kami adalah masalah Maling yang merajalela di kota ini. Hari senin lalu tanggal 5 mei 2008, penginapan kami disatroni Maling yang tampaknya masih amatiran. Kami perkirakan maling masuk lewat jendela depan yang kebetulan tak terkunci antara jam 03.00-05.00 subuh karena beberapa dari kami kerja lembur, dan paginya shalat subuh. Kejadian itu benar-benar membuat kami merasa sangat shock dan memberlakukan kondisi siaga 1, 24 jam sehari. Bagaimana tidak maling terkutuk itu sukses menggondol HP milik rekan kami lengkap dengan charger dan headsetnya, bahkan nyaris menggondol camera digital dan tas pinggang berisi Cardreader MP3 Player, MMC 1 GB, dan beberapa kuitansi penting (alhamdulillah maling tersebut, entah karena ceroboh meninggalkan barang-barang tersebut di luar penginapan kami). Saya bersyukur pada tuhan karena laptop saya yang terpasang lengkap dengan charger dan mousenya, meski posisinya dekat dengan HP yang hilang tadi tak dibawa pula oleh pelaku (agaknya pelaku emang spesialis HP atau karena dia masih tergolong maling kampung yang buta teknologi). Alhasil setelah kejadian menyebalkan tersebut kami sadari pagi harinya, kami langsung meluncur ke Polres setempat. Sesampainya di Polres suasana tampak begitu sepi (mungkin personilnya emang dikit), lalu kami mendatangi unit pelayanan kepolisian. Ketika datang melapor kami langsung dilayani dengan baik oleh personil yang bertugas. Setelah menceritakan permasalahan kami, personil yang bertugas langsung mengantar kami menuju ruangan intelkam. Di situ kami ditanyai seputar kronologi kejadian (total sekitar 15 pertanyaan saja), setelah selesai petugas tersebut menjanjikan akan menindaklanjuti kejadian ini dengan mengirim unit TKP ke basecamp kami. Sebenarnya kami minta unit TKP datang siang itu juga, tapi berhubung unit TKPnya lagi sibuk turun lapangan jadinya ditunda. Sampai hari ini ternyata unit TKP yang dijanjikan tersebut belum datang-datang juga. Padahal setelah kasus pencurian di Basecamp kami, hanya selang dua hari 2 rumah lain di dekat tempat tinggal kami juga didatangi maling yang juga merusak jendela mereka. Pak RT yang mendapat banyak pengaduan dari warga juga frustasi karena laporannya ke Kepolisian setempat belum juga ditindaklanjuti, sehingga warga setempat berinisiatif melakukan pengamanan sendiri-sendiri lingkungan mereka.

Renungan : Maret 2008 sebagai Bulan Kebangkitanku

Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya dalam tulisan blog saya, begitu lulus kuliah dari ITN atau beberapa hari setelah diwisuda, pada tanggal 3 Desember 2007-23 februari 2008 saya mengikuti kursus english di Kota Pare, Kediri. Setelah hampir 3 bulan menjalani kursus english, kami diwajibkan menjalani serangkaian ujian mulai speaking, listening, hingga ujian writting. Pada tanggal 23 februari 2008 (sekitar jam 11 malam) saat dalam perjalanan menuju Candi Borobudur bersama seluruh peserta kursus dalam rangka menjalani ujian speaking dengan mewawancarai para Turis asing disana, di dalam bus tiba-tiba saya merasakan sakit kepala dan demam yang hebat. Hingga pagi hari (24 feb) rasa sakit itu juga tidak hilang, malahan badan saya tambah lemas, kurang fit, dan juga kehilangan nafsu makan (pagi itu hingga balik ke bus siangnya saya memilih tidak makan karena emang nggak nafsu). Saat itu saya masih berpikir bahwa saya hanya menderita demam biasa, karena itu saya mencoba melawan penyakit itu dengan berbagai cara. Akan tetapi upaya itu tidak berhasil karena nyatanya selama di Borobudur saya merasa tambah kepanasan, lemas, dan mengantuk berat. Saya bahkan tidak peduli dengan segala aktivitas, keindahan alam dan budaya disana karena yang ada di pikiran saya saat itu cuma bagaimana cara menemukan tempat terlindung yang nyaman untuk tidur (ternyata saya tidak menemukannya!!!). Jujur saja saat itu saya benar-benar jengkel dengan pihak pengelola Candi yang tampaknya kurang memperhatikan kebutuhan para pengunjung padahal obyek wisata tersebut berskala internasional. Bayangkan di sekitar bangunan Candi saya ternyata tak menemukan toilet barang sebiji pun, malahan lokasi toiletnya ternyata begitu jauh dari bangunan utama candi (Bayangkan apa jadinya jika ada pengunjung manula/lemah fisiknya karena sakit, ketika berada di puncak candi yang begitu tinggi itu tiba-tiba kebelet pipis..!!!, apa ia mesti pipis di atas candi yang sakral itu???).

Kembali ke permasalahan utama saya saat di Borobudur, ketika sakit tersebut saya rasakan mencapai puncaknya di siang hari (saya bahkan nyaris pingsan di atas candi, dan sulit dibayangkan apa yang terjadi mengingat fasilitas pelayanan kesehatan bersifat emergency begitu jauh dari sana). Yang saya lakukan saat itu hanyalah berdoa dan berdoa sambil terus berharap tuhan segera menolong dan memberi kekuatan pada saya. Saya bahkan sudah begitu pasrah dan mengikhlaskan diri jika seandainya saat itu "Tuhan hendak memanggil saya". Teman-teman sebenarnya juga turut prihatin tapi mereka mengira saya hanya demam biasa jadi mereka tetap melanjutkan aktivitas wawancara mereka dengan turis-turis asing dan asyik berfoto ria.

Setelah berjuang keras untuk survive melawan penyakit saya dengan senjata pamungkas saya yaitu doa dan dzikir akhirnya saya masih sempat bertahan lama diatas candi (saya bahkan sempat mengelilingi bangunan utama candi meski bolak-balik berhenti istirahat). Setelah sekitar empat jam di Borobudur saya kemudian mengikuti rombongan kembali ke bus (sebenarnya saya pingin duluan pulang, tapi entah kenapa batin saya selalu menolak). Alhamdulillah meski sedikit payah saya lalu bisa sukses kembali ke bus bersama teman-teman lainnya (Hal ajaibnya adalah meski saya menderita demam yang dahsyat saat itu, saya mampu berjalan kaki lebih dari sejam, mulai dari puncak borobudur hingga ke dalam bus yang parkir di luar kawasan wisata tersebut tanpa istirahat semenitpun di jalan !!! padahal saya saat itu juga kelaparan karena belum makan pagi).

Sesampainya di dalam bus saya langsung minum sepuasnya (alhamdulillah saya benar-benar menemukan kenikmatan yang luar-biasa saat itu). Setelah itu kemudian saya segera tidur hingga bus membawa kami sampai di tempat wisata berikutnya yaitu Malioboro di Yogyakarta. Sesampainya di Malioboro di saat teman-teman pingin mengajak saya bershoping-ria (maksudnya biar saya lupa dengan penyakit saya) saya malah buru-buru mencari Masjid karena saat itu udah jam 2 siang lewat dan saya belum menghadap tuhan dengan mengerjakan kewajiban shalat dhuhur.

Usai shalat dhuhur saya kembali berdoa cukup lama sambil berpikir tentang cobaan yang menimpa saat itu. Saya bertanya-tanya mengapa di saat teman-teman dan semua orang bersenang-senang di tempat-tempat wisata yang kami kunjungi, justru saya malah menderita demam dahsyat dan kehilangan selera untuk menikmati kesenangan duniawi itu. Ketika saya keluar dari tempat shalat, di perjalanan dekat monumen serangan umum 1 maret saya melihat beberapa gelandangan, pengemis, dan anak-anak jalanan yang tampak begitu memelas karena seperti kelaparan (saat itu hati saya terguncang karena tuhan sepertinya sedang menegur saya akan kenyataan bahwa di dunia ini ada banyak orang yang lebih buruk nasibnya daripada saya).
Saat kembali ke bus saya lagi-lagi melanjutkan tidur saya hingga sore (Saya bahkan melewatkan lagi waktu makan siang, sehingga saya seperti orang yang lagi puasa karena tidak makan pagi dan siang, saya cuman minum air dan makan sedikit camilan).

Hingga malam hari saya lebih banyak tiduran di bus, saya hanya keluar bus saat waktu shalat dan makan malam saja. Sampai tengah malam ketika kami sampai kembali di Kota Pare, tiba-tiba saya merasakan semakin bertambah lemas dan bahkan ngangkat tas ransel saja saya tidak kuat hingga saya dibantu Mr Farhan, pengajar favorit di tempat kursus. Beliau tidak hanya membantu ngangkat tas saya, tetapi juga menuntun saya melewati kegelapan malam menuju asrama EECC yang juga satu komplek dengan tempat kursus saya (Thank u very much sir!!!). Saat itu saya memutuskan untuk tinggal di asrama hingga esok pagi.

Kemudian ketika saya kembali ke tempat kos saya dari asrama sekitar jam sembilan pagi (25 feb 2007) saya kembali tidur sampai waktu dhuhur. siangnya saya minum obat demam, tapi sorenya saya malah mual-mual, bahkan malam saya bolak-balik muntah dan perut terasa sangat sakit sekali. Saat itu saya berusaha tetap tenang dan banyak-banyak berdoa, beberapa teman terlihat panik dan menyarankan saya segera ke dokter. Saya menolak dengan halus dengan beralasan saat itu sudah terlalu malam (sekitar jam sepuluh lewat), jadi saya memutuskan besok pagi saja berobatnya. Keesokan harinya sekitar jam stengah 9 pagi teman saya, Yusuf (thanks bro...semoga allah membalas kebaikanmu) lalu mengantar saya menuju rumah sakit (RSUD Pare) karena jaraknya cukup dekat dari kos saya (hanya sekitar 300 meter). Disana saya langsung dilayani dengan baik meski ngantri hampir sejam untuk bertemu dokternya. Setelah diperiksa ternyata menurut dokter saya menderita Demam Berdarah dan harus segera dirawat inap hari itu juga. Kemudian saya setuju untuk segera dirawat inap dan segera membayar beberapa persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Saya lalu disuruh keluar ama dokter itu agar menunggu di ruang tunggu hingga berjam-jam sampai saya bosan dan hampir pingsan lagi (wah brengsek juga dokter itu !!!). Akhirnya saya memaksa dokter tersebut agar saya segera mendapat perawatan di ruang rawat inap. Maklum saja saya ngotot seperti itu masalahnya kadar trombosit saya menurut dokter dibawah 50...(satuannya saya lupa) atau tinggal sepertiga dari ukuran normalnya.

Alhamdulillah saya lalu segera dibawa ke ruang rawat inap dan segera diinfus. Tapi sehari disana saya mulai tidak betah karena merasa privasi saya terganggu oleh beberapa pasien yang suka mengaduh kesakitan. Akhirnya saya minta pindah kamar ke Kelas I yang lebih tenang dan nyaman menurut saya. Seminggu di rumah-sakit hampir menguras tabungan saya karena saya harus ngeluarin jutaan rupiah untuk biaya perawatan tersebut. Tapi itu tak masalah bagi saya karena dalam pikiran saya yang penting saya segera sembuh dan kembali beraktivitas secara normal. Selama di rumah-sakit saya juga selalu menyempatkan diri banyak-banyak berdoa dan berdzikir sambil meminta dukungan ortu, keluarga, dan teman-teman. Teman-teman saya di Pare tak henti-hentinya datang menjenguk dan mendoakan saya, termasuk beberapa polisi kenalan saya di Pare.

Sekitar seminggu kemudian yaitu tanggal 2 maret saya minta pulang dan dirawat di rumah karena jujur saja saya sudah tidak betah lagi berlama-lama tinggal di rumah sakit. akhirnya saya diijinkan pulang ke rumah tanggal 3 maret 2008 meski sebenarnya saya belum sembuh benar karena kadar trombosit saya masih rendah. Sesampainya di rumah saya kembali melanjutkan hobi saya di rumah-sakit yaitu tidur hingga waktu shalat tiba. Anehnya malam hari saya mulai pusing, kemampuan penglihatan saya juga mulai kacau karena saya melihat benda-benda yang ada di sekitar saya tampak lebih kecil dari seharusnya. Malam itu pikiran saya benar-benar kacau dan sulit berkonsentrasi dengan peristiwa yang saya alami. Bahkan hingga jam stengah 12 malam saya belum juga bisa tidur dengan tenang. Saya tidak henti-henti merasa gelisah dan merasa kepala saya bertambah sakit dan cenut-cenut. Selama masa kritis tersebut saya mencoba bersikap tenang, sabar dan menata hati saya agar tetap ikhlas dengan cobaan yang saya alami sambil tak henti-henti berdoa kepada tuhan agar saya diberi kesembuhan, kekuatan, dan pertolongan agar bisa segera keluar dari kondisi kritis yang saya alami ini. akhirnya jam 12 lewat saya berhasil tidur dengan nyenyak.

Malam itu ketika menikmati tidur saya yang nyenyak tiba-tiba saya bermimpi yang sangat indah sekali (seingat saya seumur hidup belum pernah saya merasakan mimpi yang seindah ini). Mimpi itu benar-benar membangkitkan spirit saya untuk bangkit dari kondisi kritis yang saya alami dan memberikan banyak inspirasi bagi saya untuk berkarya mengabdi pada tuhan dan seluruh umat selama hidup di bumi ini.

Penyakit Demam berdarah tersebut masih saya derita kira-kira seminggu setelah keluar dari rumah sakit. Ada banyak inspirasi dan gagasan-gagasan nyeleneh yang saya peroleh semasa sakit tersebut. Selama proses penyembuhan itu berat badan saya turun sekitar 6 Kg (suatu jumlah yang besar bagi orang sekurus saya) tapi anehnya kekuatan fisik saya tambah besar (mungkin pengaruh obat dari rumah sakit), setidaknya itu sudah pernah saya uji saat teman-teman pengajian saya di Malang berlatih sepakbola dengan tentara dari Yon Armed Singosari, saya mampu berlari keliling lapangan Armed 5 putaran non-stop (sebenarnya saya masih bisa nambah lagi) dengan jarak tempuh 2 km (padahal saya dikenal paling jarang olahraga dan rekor saya untuk lari non-stop seperti itu tak lebih dari 700 m).


Kisah Para Pencari Jatidiri.....

Cerita ini dimulai saat saya mulai datang ke Kota Pare untuk mengikuti kursus english pada awal desember 2007. Hmmm... anda pasti bertanya-tanya ngapain saya jauh-jauh kursus di kota kecil itu, padahal di Malang yang notabene Kota Pendidikan, pastinya terdapat ratusan tempat-tempat kursus yang hebat. Yang jelas saya cuman cari suasana baru aja sehabis lulus kuliah, apalagi saya juga dibuat terkesan oleh kemampuan ngoceh english salah satu teman kampus yang baru lima bulan kursus disana.

Maklum saja, sebab di Pare terdapat sebuah kampung yang dikenal sebagai ”Kampung Inggris”, yaitu Desa Tulung Rejo dan sekitarnya. Maksud ”Kampung Inggris” ini bukan berarti warga yang mendiami kampung tersebut keturunan inggris ataupun punya tampang mirip bule, yang jelas karena kampung tersebut memiliki ratusan tempat kursus yang lokasinya saling berdekatan. Selain tempat kursus english, di kampung ini juga terdapat beberapa fasilitas pendukung yang cukup memadai seperti; rumah kos-kosan, toko buku, warnet, warung, minimarket, jasa fotokopi, dan lain-lain. Aglomerasi fungsi khusus seperti ini memang memberikan keunggulan bagi peningkatan daya saing terhadap wilayah lainnya, dan dapat menjadi stimulan aktivitas perekonomian masyarakat.

Agak unik memang bagaimana bisa di kota kecil seperti Pare bisa muncul kawasan seperti itu, apalagi peserta kursusnya hampir seluruhnya merupakan pendatang dari berbagai penjuru Indonesia. Tapi untuk sementara ini penulis belum menemukan jawabannya karena kisah asal-usulnya masih simpang-siur.

Selama di Pare, yang saya kagumi adalah kesadaran masyarakat setempat yang tetap mengandalkan sepeda sebagai alat transportasi utama dalam menjalani aktivitas sehari-hari, mulai dari bekerja, bersekolah, berbelanja, dan sebagainya. Bayangkan jika ini juga membudaya pada semua kota di Indonesia, so pasti kota-kota kita akan menjadi kota yang sehat karena bebas polusi dan macet, dan tentunya hal itu menghemat konsumsi BBM yang akhir-akhir ini produksinya semakin menguatirkan.

Trus ngomong-ngomong apa hubungan kota itu dengan "Para Pencari Jati Diri" seperti judul diatas ? seperti yang sudah saya ceritakan tentang adanya para pendatang yang jauh-jauh ke Pare hanya untuk kursus english anda tentu juga ingin mempertanyakannya. Ternyata setelah saya mulai kursus disana, saya mulai menyadari adanya kesamaan saya dengan peserta kursus english lainnya, yaitu mereka hanya sekedar mencari suasana baru yang berbeda dari tempat tinggal mereka dulu, sekaligus menemukan jati diri sebenarnya saat mulai hidup mandiri jauh dari orangtua mereka.

Kondisi Kota Pare yang kecil tapi dihuni berbagai suku dengan macam-macam karakter yang dimiliki setidaknya mengajarkan banyak hal tentang bagaimana cara hidup dalam keberagaman dan bagaimana cara mengelola keberagaman itu sendiri menjadi sebuah kekuatan untuk saling berbagi dan peduli satu sama lain. Toleransi dan kepekaan terhadap sesama dan situasi yang terjadi tentu merupakan hal yang mutlak dilakukan.

(Catatan Ismail saat kursus english di Kota Pare, ditulis pada awal januari 2008)