Kamis, 05 Juni 2008

Berjuang Mengatasi Tekanan dan Tantangan

Dalam situasi yang serba sulit seperti saat ini, ada banyak hal yang bisa membuat kita merasa jengkel, stress/tertekan, jenuh, dan bahkan sakit hati. Tapi kalo dipikir-pikir untuk apalah kita menyesali keadaan buruk seperti itu. Biarpun beribu-ribu kali kita curhat sana-sini melepaskan seluruh kekesalan kita apakah kemudian keadaan menjadi lebih baik…??? Ternyata lebih sering tidak (ini juga sering saya alami lho…). Segala permasalahan yang ada tidak pernah akan selesai jika ditanggapi secara negatif dalam bentuk omongan-omongan yang tak berguna seperti yang sering diperagakan para politisi di negara ini. Semua itu haruslah diselesaikan dengan tindakan nyata.

Sebagai contoh bila anda misalnya seorang profesional yang dituntut menyelesaikan suatu tugas berat yang biasanya dikerjakan sebulan tapi anda dideadline untuk mengerjakannya dalam waktu kurang dari seminggu. Meskipun hal itu dirasa sangat sulit, tapi apakah kita kemudian menghabiskan waktu yang ada hanya dengan menggerutu saja. Tentu saja tidak, karena pekerjaan sesulit apapun asalkan kita selalu konsisten, sungguh-sungguh, dan optimis dalam mengerjakannya maka yakinlah itu semua bisa terselesaikan.

Dalam kondisi sesulit apapun, biasakanlah untuk selalu berpikir positif karena itu akan memacu kita untuk menemukan solusi dan gagasan-gagasan baru. Setidaknya hal ini pernah dialami oleh teman kuliah saya, Darwan yang lulus bareng saya tahun 2007 lalu. Kisah perjuangannya semasa kuliah dahulu cukup banyak menginspirasikan saya. Semasa kuliah dia dikenal paling jago ngutak-ngatik program-program komputer (tidak heran jika komputernya sering rusak). Segala macam program terutama yang berbau grafis seperti Photoshop, Coreldraw, Flash, Arc GIS, AutoCAD, Movie maker, 3D max, dsb bisa ia kuasai secara otodidak dengan mudah.

Saat pertama kali datang ke Kota Malang waktu mulai kuliah tahun 2002, ia benar-benar tidak paham dengan benda ajaib yang bernama Komputer itu. Maklum saat itu ia baru datang dari suatu daerah terpencil di Maluku. Ia baru mengenal komputer saat kakaknya yang sebelumnya sudah lama kuliah di Malang membuka usaha rental komputer di rumah kontrakan mereka. Ketika baru mengenal komputer ia benar-benar merasa bingung campur takut. Bingung karena tidak tahu fungsi tombol-tombol yang ada dan takut karena ia mengira komputer ini termasuk barang yang mudah meledak. Saat disuruh menyalakan komputer oleh sang kakak, ia melakukannya dengan hati-hati sekali (persis seperti orang yang lagi menjinakkan bom).

Lama-kelamaan ketika mulai terbiasa mengoperasikan komputer, ia langsung larut dengan kegemarannya yang baru yaitu memencet-mencet keyboard dan memain-mainkan mouse persis seperti bocah yang dapet mainan baru. Beberapa minggu kemudian ia sudah menguasai beberapa program standar seperti Ms Office, Ms Paint dan sejenisnya. Kakaknya (Mas Udin) termasuk orang yang paling bangga melihat perkembangan adiknya dalam menguasai teknologi yang ngetren di abad 21 itu. Apalagi sebagai entrepeneur, kakaknya ternyata melihat itu sebagai aset penting dalam pengembangan bisnis rental komputer yang sedang dibangunnya. Jadilah Darwan sang Adik itu menjadi sukarelawan yang bertugas menjaga rental tersebut setiap hari selama itu tidak berbenturan dengan jadwal kuliah.

Pekerjaan barunya itu ia kerjakan dengan sungguh-sungguh tanpa mengeluh sedikitpun, meski seringkali dibuat pusing oleh ulah dosennya yang pada awal-awal kuliah senang sekali gonta-ganti jadwal kuliah sehingga sering berbenturan dengan jadwal kerjanya di rental. Ia manfaatkan posisi barunya itu untuk menimba ilmu komputer sebanyak-banyaknya, apalagi kakaknya ternyata menyimpan begitu banyak buku tentang beraneka macam software dan majalah-majalah komputer.

Tapi ternyata ilmu komputer yang ia kuasai masih terbatas pada pengoperasian program-program standar seperti Ms. Office dan Program-program bawaan windows. Ia masih belum memahami konsep terpenting dalam komputer terkait logika berpikir dalam bahasa pemrogaman. Akibatnya nilai mata kuliah komputer yang diperolehnya saat semester satu adalah ”D”. Baginya kejadian itu bukanlah sesuatu yang patut disesalkan. Ia tidak pernah protes atau mengajukan keberatan atas nilai tersebut, karena ia sadar bahwa ia memang masih memiliki kelemahan dasar yang harus dibenahi. Nilai itu justru menjadi tantangan dan bahan introspeksi baginya untuk memperbaiki kelemahan tersebut.

Kisahnya yang paling dramatis terjadi saat proses pengerjaan skripsi hingga pengumpulannya. Skripsinya yang membahas tentang pengembangan faktor-faktor keunggulan sumberdaya manusia di suatu wilayah kota dengan melihat trend perkembangan indeks IPM (Indeks Pembangunan Manusia) telah menjadi bahan perdebatan seru di kalangan dosen. Gara-gara itu ia sampai bolak-balik dipaksa merevisi materi skripsinya, bahkan ia nyaris dinyatakan tidak lulus (maklum skripsinya kelewat kontroversial dan dianggap masih terlalu prematur).

Ia memang pejuang yang tangguh dan pantang menyerah meski ia sempat mengalami stagnasi berkepanjangan gara-gara sifat moody-nya yang sering muncul tiba-tiba (saya dan teman-teman lainnya pun sering mengalami gejala aneh ini). Stagnasi tersebut berdampak serius pada perkembangan skripsinya, karena hingga 2 minggu menjelang pengumpulan laporan hasil, ia masih berkutat di bab tiga (analisa) dan tampaknya ia sudah sangat jenuh. Tidaklah heran jika dosen pembimbingnya dibuat gerah dan oleh sang dosen ia diharuskan melakukan asistensi lebih intensif. Akhirnya setelah berjuang keras, ia berhasil menyelesaikannya tepat waktu (tekanan sang dosen agaknya membuat ia menjadi lebih produktif). Tepat pada hari terakhir deadline pengumpulan laporan hasil, tiba-tiba listrik padam padahal saat itu ia baru mulai ngeprint (saat itu sudah jam setengah 12 siang, sementara batas pengumpulan adalah jam 2 siang).

Beruntung saya saat itu datang ke tempatnya, karena kasihan saya menawarkan dia membawa komputernya untuk ngeprint di tempat saya. Bayangkan saja laporannya tergolong tebal sekitar 300 halaman dan harus dirangkap tiga. Saat mulai ngeprint ditempat saya, celakanya ia baru teringat kalau ia melupakan sesuatu yang amat penting. Ia lupa membuat abstraksi, kata pengantar, daftar isi, dan parahnya lagi ia belum dapat tanda tangan acc dari dosen pembimbing….!!! Akhirnya waktu yang tersisa selain habis untuk ngeprint, juga ia kebut untuk mengerjakan hal tersebut (maklum kalo itu tak dilengkapi, staf jurusan yang berwenang menerima pengumpulan laporan yaitu Mbak Puji langsung menolak mentah-mentah). Sekitar jam 2 lewat 10 menit kami baru berangkat ke kampus dengan sedikit lesu maklum waktunya dah telat banget (ini gara-gara Darwan yang masih saja membolak-balik laporannya karena kuatir ada halaman yang kurang) dan yang parah masih belum dapat acc. Sesampainya di kampus (saat itu jam 14.20) hal yang tak terduga terjadi, Mbak Puji staf jurusan yang galak itu bersedia menerima laporan Darwan dengan syarat harus mendapatkan tanda tangan acc dari dosen pembimbing sebelum jam 3 sore (yang ini sepertinya jauh lebih sulit, dan Mbak puji sepertinya tahu hal itu mustahil dilakukan dalam waktu singkat).

Kami berdua mencoba bersikap tenang sambil berpikir keras mencari solusi terbaik. Akhirnya dia memutuskan tetap nekat mencari Dosen Pembimbing tersebut. Kebetulan sekali beliau masih di kampus. Ternyata beliau menolak dengan alasan ia belum membaca keseluruhan laporan itu. Negosiasi yang alot pun terjadi dan itu memakan waktu hampir setengah jam. Akhirnya sang dosen tersebut menelpon salah seorang dosen senior yang terkenal akan derajat keilmuannya yang tinggi dan luas untuk mendiskusikan permasalahan tersebut. Akhirnya setelah diskusi hampir sepuluh menit, laporan tersebut akhirnya di acc tapi dengan catatan ia harus siap dengan resiko “pembantaian” besar-besaran oleh para dosen penguji saat seminar hasil nanti.

Ternyata itu memang terjadi, saat seminar hasil ia benar-benar dibuat tak berkutik dan buruknya lagi seminarnya dinyatakan gagal dan ia tidak layak lanjut ke sidang komprehensif. Ia diharuskan merevisi total laporannya dan mengulang lagi seminarnya minggu depan. Kejadian itu membuatnya frustasi tapi ia benar-benar pantang menyerah, akhirnya ia bisa mengikuti seminar hasil lagi setelah memperbaiki laporannya. Setelah melalui masa kritis saat seminar hasil kedua itu, ia berhasil dan dinyatakan layak melanjutkan ke sidang komprehensif dengan catatan ia harus mengganti beberapa metode analisanya sebelum maju sidang.

Beberapa hari setelah itu, ia sibuk mencari-cari metode pengganti yang pas untuk skripsinya. Ia bertanya pada beberapa dosen yang ia anggap ahli tentang hal itu, sampai akhirnya ia menemukan dosen yang sanggup memberi solusi tepat untuk skripsinya. Tapi dosen itu memberi syarat yang amat berat baginya, ia harus bersedia memperpanjang skripsinya satu semester lagi (padahal ia sebelumnya sudah diultimatum oleh ortunya agar cepat lulus). Jelas ia menolak mentah-mentah dan memutuskan mengerjakan skripsi tersebut dengan caranya sendiri meski beresiko tidak lulus. Agaknya dosen tersebut juga tersentuh hatinya melihat tekad baja Darwan teman saya itu. Ia akhirnya membagikan beberapa metode analisa yang dibutuhkan untuk menyempurnakan hasil penelitian skripsinya.

Ternyata metode yang ditawarkan itu tidak terlalu rumit, hanya saja hal itu menuntut input data yang amat banyak, padahal batas pengumpulan laporan komprehensif semakin dekat. Akhirnya Ia nekat berimprovisasi untuk mengakali keterbatasan data yang dimiliki sehingga dengan cara yang luar-biasa ia berhasil menyelesaikan revisi laporan tersebut dalam hitungan minggu (tekanan hidup terkadang membuat orang tambah kreatif).

Saat waktu pengumpulan laporan untuk sidang kompre makin dekat, celakanya ia belum dapat Acc. dari dosen penguji (padahal itu syarat penting agar laporan bisa diterima). Waktu itu sang penguji lagi sibuk ngurusin proyek di wilayah nusa tenggara. Dosen pembimbing pun ikut panik dan lagi-lagi untuk kali kedua ia menelpon sang penguji untuk menanyakan apakah skripsi Anak ini bisa di Acc untuk lanjut ke sidang komprehensif. Setelah terjadi pembicaraan yang alot terkait materi laporan yang sudah direvisi, akhirnya sang penguji bisa memberi Acc. Uniknya untuk kali pertama sepanjang sejarah jurusan, baru kali ini tanda-tangan Acc sidang dari penguji diwakili oleh dosen pembimbing.

Saat sidang komprehensif, hasilnya ternyata tidak semulus saat pemberian Acc layak mengikuti sidang, karena ternyata sang penguji masih mengaku tidak puas terhadap output penelitiannya. Tidak seperti peserta sidang lainnya yang begitu selesai sidang langsung diumumkan kelulusannya. Pengumuman lulus tidaknya si Darwan ini harus menunggu sampai Yudisium !!! apa sebabnya ??? ternyata ini gara-gara terjadi perdebatan serius di kalangan dosen terkait hasil studinya, dan mau nggak mau untuk kesekian kalinya ia harus berusaha keras merevisi lagi skripsinya (sungguh perjuangan yang melelahkan). Tapi akhirnya toh happy ending juga karena pada saat Yudisium (beberapa minggu setelah Ujian Komprehensif) ia dinyatakan lulus !!!

Darwan sekarang memetik hasil perjuangan kerasnya saat skripsi dahulu. Berbagai tekanan dan tantangan yang dulu sering ia terjang ternyata membentuk mentalnya untuk selalu kompetitif, pantang menyerah dan berusaha mandiri. Sekarang tanpa diduga-duga ia yang dahulu dikenal pendiam, nrimoan, dan hidup amat bersahaja itu telah menjadi entrepeneur muda di daerah asalnya di Masohi Maluku. Ia sekarang merintis beberapa jenis usaha bisnis, mulai dari perdagangan kayu, rental kendaraan, hingga hotel. Ia bahkan berencana membuka usaha kontraktor sendiri.


Tidak ada komentar: